PONOROGO – Kegaduhan yang dibikin Nanang Riyanto dengan meng-upload di kanal YouTube SI TV (Sinyal Indonesia) terkait pelaporan dugaan ijazah palsu Bupati Sugiri Sancoko berujung permintaan maaf. Namun, tidak hanya cukup permintaan maaf dari Nanang Riyanto, masyarakat juga harus tahu apakah upload rekaman wawancara yang dibikin Nanang tersebut merupakan sebuah produk jurnalistik atau bukan.
Engky Bastian, salah seorang mantan wartawan senior Jawa Pos saat dikonfirmasi mengungkapkan bahwa apa yang di-share Nanang di kanal youtube-nya bukan sebuah produk jurnalistik. “Rekaman wawancara itu menurut saya sangat tendensius. Melanggar kode etik jurnalistik dan pemberitaannya tidak berimbang,” tegas Engky Bastian, minggu (23/1/2022).
Menurut pria yang kerap disapa Eba itu, kode etik jurnalistik itu adalah etika profesi wartawan. Yang di dalamnya ada beberapa unsur yang harus dipenuhi. Yakni independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. “Wawancara itu saja tidak berimbang. Hanya dari satu pihak (baca: pelapor, Red). Dan jauh dari kata cover both side (berimbang). Dalam ilmu jurnalistik, berita yang berimbang maksudnya adalah berita atau laporan yang disajikan harus objektif. Termasuk tidak memihak kepentingan kelompok tertentu,” ungkap pria yang sudah 18 tahun berkecimpung di dunia jurnalistik ini.
Eba menambahkan, sifat berimbang ini perlu dijaga. Agar berita tidak menyesatkan pembaca, penonton atau pendengar. Serta tidak digugat oleh pihak yang merasa dirugikan. “Saya melihat Sinyal Indonesia ini sudah dua kali melakukan hal seperti ini. Lihat saat meng-upload wawancara dengan Rochmadi Sularsono terkait kasus SK pemecatan dan pencemaran nama baik bupati di medsos. Itu juga tanpa adanya klarifikasi dari pihak bupati di wawancara tersebut,” jelasnya.
Itu sebabnya mengapa Eba mendorong adanya seleksi terhadap wartawan yang akan bekerjasama dengan pemerintah daerah. Menurutnya, semua orang boleh menjadi wartawan atau mendirikan perusahaan pers. Namun harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. “Jangan asal membuat perusahaan pers di mana di dalam perusahaan tersebut diakali dengan susunan direksi. Misal, istri menjadi direktur, dan suami yang menjadi wartawannya. Ditambah lagi sang wartawan tidak dibekali ilmu jurnalistik atau belum mengikuti uji kompetensi wartawan,” paparnya.
Uji kompetensi wartawan menurut Eba sangat diperlukan sebagai bekal seorang wartawan bisa menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya di lapangan. Sehingga tidak menabrak aturan-aturan yang berlaku di dunia jurnalistik. “Tidak cukup hanya didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM. Terdaftar di Dewan Pers dan mengikuti uji kompetensi wartawan itu justru yang lebih penting,” kata Eba.
Itu sebabnya Eba berharap dinas-dinas terkait di pemerintah Kabupaten Ponorogo tidak takut lagi jika didatangi wartawan. Pejabat pun berhak menanyakan kepada yang bersangkutan apakan perusahaannya sudah memenuhi persyaratan sebagai perusahaan pers atau belum. Juga berhak menanyakan apakah sang wartawan itu sudah menempuh uji kompetensi apa belum. “Sekarang ini banyak sekali perusahaan pers atau wartawan yang kurang memenuhi persyaratan. Akhirnya pejabat dibikin takut dengan ancaman pemberitaan. Padahal belum tentu apa yang nanti ditulis sang wartawan itu kredibel dan memenuhi unsur jurnalistik,” pungkasnya.
Di sisi lain, Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Ponorogo, Bambang Suhendro dikonfirmasi kemarin mengaku mendukung adanya persyaratan terdaftar dewan pers dan harus sudah mengikuti uji kompetensi wartawan. “Memang itu aturannya. Nanti pas peringatan Hari Pers saya akan kumpulkan seluruh wartawan. Kita datangkan dewan pers dan pakar jurnalistik. Kita bikin kesepakatan bersama mengenai syarat-syarat media yang akan bekerjasama dengan pemkab. Tentunya itu harus sesuai dengan UU pers dan aturan yang berlaku. Saya kira ini fair untuk semuanya,” kata Bambang Suhendro.(El)
